banner 728x250

Zakat, Infaq, dan Sedekah: Pilar Kesejahteraan dalam Perspektif Islam dan Relevansinya terhadap Konsep Welfare State

Rektor Unismuh Luwuk Banggai, Dr Sutrisno K Djawa.
banner 468x60

Oleh: Dr. Sutrisno K Djawa, MM, Rektor Unismuh Luwuk Banggai

banner 728x250

KETIMPANGAN sosial, kemiskinan ekstrem, dan ketidakadilan distribusi kekayaan adalah masalah klasik yang terus menghantui peradaban manusia, tak terkecuali di era modern.

Berbagai sistem ekonomi dan ideologi telah silih berganti ditawarkan sebagai solusi.

Kapitalisme, misalnya, menjanjikan kemakmuran melalui kebebasan pasar, sementara sosialisme menekankan pemerataan melalui intervensi negara. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa keduanya masih menyisakan ruang kosong dalam hal keadilan dan keberkahan ekonomi.

Dalam konteks ini, Islam menghadirkan pendekatan ekonomi dan sosial yang khas. Hal yang sederhana dan lekat dengan ajaran Islam, yakni zakat, infaq, dan sedekah, sebagai bagian integral dari konsep negara kesejahteraan (welfare state).

Zakat sebagai Instrumen Distribusi Kekayaan

Zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam. Namun lebih dari sekadar kewajiban spiritual, zakat adalah sistem keuangan yang didesain untuk menyembuhkan ketimpangan sosial.

Dalam Al-Qur’an (QS. At-Taubah: 60), Allah SWT menetapkan delapan golongan mustahik zakat—suatu bentuk pengklasifikasian yang sangat relevan dengan kondisi masyarakat modern.

Para fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya, orang yang terlilit utang, fi sabilillah, dan musafir adalah potret dari golongan rentan yang dalam kerangka negara modern juga termasuk dalam target kebijakan kesejahteraan.

Lebih menarik lagi, zakat memiliki sifat wajib, layaknya pajak dalam sistem negara modern. Namun, yang membedakan adalah tujuan dan semangat di baliknya. Pajak seringkali dilihat sebagai kewajiban administratif, sementara zakat adalah manifestasi keimanan dan kepedulian sosial.

Bila negara mampu mengelola zakat secara institusional seperti pada masa khalifah Abu Bakar Sidik, Khilafah Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib atau Umar bin Abdul Aziz, maka zakat bukan hanya pelengkap, melainkan sumber daya utama dalam mengentaskan kemiskinan.

BACA JUGA  Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi Meningkat, Unismuh Luwuk Banggai Melangkah dengan Predikat Terakreditasi Baik Sekali

Infaq dan Sedekah: Solidaritas Sosial yang Berkelanjutan

Selain zakat, Islam juga mengajarkan infaq dan sedekah sebagai bentuk keikhlasan individu dalam mendukung masyarakat. Infaq bisa dalam bentuk harta, tenaga, atau bahkan waktu yang dikorbankan demi kebaikan umat.

Sedekah bahkan lebih luas lagi tidak harus berbentuk materi. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.” Ini menunjukkan betapa nilai-nilai sosial dalam Islam sangat inklusif dan humanis.

Konsep ini sejatinya sangat sesuai dengan semangat negara kesejahteraan, yang tidak hanya membangun jaminan sosial berbasis negara, tetapi juga mendorong keterlibatan masyarakat sipil dalam menciptakan ekosistem kepedulian. Jika di Barat terdapat program voluntary donation atau community service, maka Islam sejak awal telah menanamkan nilai-nilai serupa dalam bentuk zakat ,infaq dan sedekah.

Negara dan Peran Sentral dalam Distribusi Kesejahteraan

Dalam praktiknya, welfare state modern di Eropa, seperti negara- negara Nordik menempati wilayah Eropa Timur dan Atlantik utara Skandinavia, Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, Swedia  dan juga teritoria kepulauan Faroe, Greenland, Svalbard, Aland memberikan subsidi pendidikan, layanan kesehatan gratis, hingga tunjangan pengangguran.

Semua itu dibiayai melalui sistem pajak progresif. Namun, dalam ekonomi Islam, negara tidak hanya bertindak sebagai pengumpul dan pendistribusi kekayaan, tetapi juga sebagai penjaga moralitas ekonomi.

Negara memiliki peran penting dalam memastikan bahwa zakat benar-benar sampai kepada yang berhak, bahwa pelaku usaha tidak terjebak dalam riba dan penipuan, dan bahwa pasar berjalan dalam koridor keadilan. Negara bukan entitas netral, tetapi khadim (pelayan) bagi kesejahteraan rakyat.

Sebagaimana Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuktikan bahwa dalam kurun waktu dua tahun kepemimpinannya, nyaris tidak ditemukan lagi mustahik zakat karena distribusi berjalan efektif. Ini bukti sejarah bahwa konsep welfare state Islam tidak utopis, tetapi telah terbukti dalam sejarah pemerintahan yang adil.

BACA JUGA  FEB Unismuh Luwuk Banggai Buka Penerimaan Mahasiswa Baru, Ketahui Syaratnya Di Sini

Kelebihan Sistem Islam dibanding Welfare State Barat

Ada tiga perbedaan mendasar antara sistem kesejahteraan Islam dan welfare state sekuler:

1.     Motivasi Spiritual: Dalam Islam, zakat, infaq, dan sedekah dilakukan atas dasar iman, bukan paksaan administratif semata. Ini menciptakan keikhlasan dan berkelanjutan.

2.     Moralitas dan Etika Ekonomi: Islam mengajarkan kejujuran dalam bisnis, larangan riba, dan prinsip tolong-menolong. Ini menjadikan sistem ekonomi berjalan bukan hanya secara legal, tetapi juga etis.

3.     Holistik Dunia dan Akhirat: Welfare state Barat fokus pada kesejahteraan duniawi, sementara Islam melihat kesejahteraan sebagai bagian dari jalan menuju kebahagiaan akhirat.

Relevansi di Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki potensi besar dalam mengembangkan sistem zakat sebagai bagian dari strategi kesejahteraan nasional. Namun, hingga kini, kontribusi zakat terhadap APBN atau pengentasan kemiskinan masih sangat kecil.

Berdasarkan data BAZNAS, potensi zakat di Indonesia mencapai lebih dari Rp 300 triliun per tahun, tetapi yang berhasil dihimpun baru sekitar 5–7 persen.

Ini menunjukkan masih lemahnya integrasi antara institusi zakat dan kebijakan negara. Padahal, bila dikelola profesional dan transparan, zakat dapat mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri dan memperkuat program bantuan sosial pemerintah.

Pemerintah perlu lebih berani mengadopsi prinsip-prinsip ekonomi Islam, bukan hanya sebagai nilai normatif, tetapi sebagai kebijakan publik yang strategis.

Zakat, infaq, dan sedekah harus diposisikan bukan hanya sebagai amalan individual, tetapi sebagai pilar utama dalam membangun welfare state berbasis nilai-nilai keislaman.

Zakat, infaq, dan sedekah bukanlah konsep yang eksklusif untuk dunia spiritual umat Islam semata. Ketiganya adalah instrumen konkret dalam membangun tatanan masyarakat yang adil, seimbang, dan sejahtera. Jika negara benar-benar menjalankan peran sebagai pelayan masyarakat (welfare provider), maka mengintegrasikan sistem ekonomi Islam adalah keniscayaan.

BACA JUGA  PUPR Banggai Siap Tambah Fasilitas GOR Kilongan, Lampu Stadion Bakal Dipasang

Karena pada akhirnya, keadilan sosial dan kesejahteraan umat bukan sekadar mimpi, melainkan warisan ajaran Islam yang siap diwujudkan dalam dunia nyata. ***

banner 728x250 banner 728x250
banner 120x600